Tugas bahasa Indonesia
Perkembangan Bahasa
Indonesia Sejak Kejayaan Sriwijaya sampai dengan 1945
Perkembangan bahasa Indonesia
Sejarah Bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Melayu-Riau, salah satu bahasa daerah yang berada di wilayah Sumatera.
Bahasa Melayu-Riau inilah yang diangkat oleh para pemuda pada “Konggres
Pemoeda”, 28 Oktober 1928, di Solo, menjadi bahasa Indonesia. Pengangkatan dan
penamaan bahasa Melayu-Riau menjadi bahasa Indonesia oleh para pemuda pada saat
itu lebih “bersifat politis” daripada “bersifat linguistis”. Tujuannya ialah
ingin mempersatukan para pemuda Indonesia, alih-alih disebut bangsa Indonesia. Fonologi dan tata
bahasa
bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.
Peristiwa-peristiwa penting yang
berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia
Peristiwa penting itu, sebagai berikut:
- Tahun
1896 disusunlah ejaan resmi bahasa
Melayu
oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad
Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab
Logat Melayu.
- Tahun
1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan
yang diberi nama Commissie
voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada
tahun 1917 diubah menjadi Balai
Pustaka.
Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti
Nurbaya
dan Salah Asuhan, buku-buku
penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit
membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
- Tanggal
16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam
pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang
berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[9]
- Tanggal
28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad
Yamin
mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
- Tahun
1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai
Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
- Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
- Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh
cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
- Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang
salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara.
Sejarah Bahasa
Indonesia
- Kelahiran
Bahasa Indonesia
- Bangsa
Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan berbagai ragam
bahasa daerah yang dimilikinya memerlukan adanya satu bahasa persatuan
guna menggalang semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan ini sangat
penting dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Kesadaran
politis semacam inilah yang memunculkan ide pentingnya bahasa yang satu,
bahasa persatuan, bahasa yang dapat menjembatani keinginan pemuda-pemudi
dari berbagai suku bangsa dan budaya di Indonesia saat itu.
- Pemuda-pemudi
Indonesia pada masa pergerakan berhasil menyelenggarakan Kongres Pemuda
Indonesia. Dalam kongres tersebut tercetuslah ikrar bersama yang lebih
dikenal dengan Sumpah Pemuda . Ikrar Sumpah Pemuda yang dikumandangkan
pada tanggal 28 Oktober 1928 itu salah satu butirnya adalah menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Adapun bunyi ikrar lengkap pemuda
Indonesia yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda itu adalah sebagai
berikut.
- Teks
Sumpah Pemuda
- Kami
putera dan puteri Indonesia mengaku
- bertumpah darah yang satu, Tanah Air
Indonesia.
- Kami putera dan puteri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
- Kami
putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa
Indonesia.
- Secara historis bahasa
Indonesia berakar pada bahasa Melayu Riau sebab bahasa yang dipilih
sebagai bahasa nasional itu adalah bahasa Melayu, yang sudah menjadi
lingua franca di pelabuhan-pelabuhan perniagaan yang tersebar di wilayah
Nusantara, yang kemudian diberi nama bahasa Indonesia.
- Alasan dipilihnya bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional adalah sebagai berikut.
- Bahasa Melayu telah
berabad-abad lamanya dipakai sebagai lingua franca (bahasa perantara atau
bahasa pergaulan di bidang perdagangan) di seluruh wilayah NUsantara.
- Bahasa Melayu memunyai
struktur sederhana sehingga mudah dipelajari, mudah dikembangkan
pemakaiannya, dan mudah menerima pengaruh luar untuk memerkaya dan
menyempurnakan fungsinya.
- Bahasa Melayu bersifat
demokratis, tidak memperlihatkan adanya perbedaan tingkatan bahasa berdasarkan
perbedaan status sosial pemakainya, sehingga tidak menimbulkan perasaan
sentimen dan perpecahan.
- Adanya semangat
kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah lain untuk menerima
bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
- Ada nya semangat rela berkorban
dari masyarakat Jawa demi tujuan yang mulia.
- Perkembangan
Bahasa Indonesia Sebelum Masa Kolonial
- Meskipun
bukti-bukti autentik tidak ditemukan, bahasa yang digunakan pada masa
kejayaan kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa Melayu. Sementara
itu, bukti-bukti yang tertulis mengenai pemakaian bahasa Melayu dapat
ditemukan pada tahun 680 Masehi, yakni digunakannya bahasa Melayu untuk
penulisan batu prasasti, di antaranya sebagai berikut.
- Prasasti
yang ditemukan di Kedukan Bukit berangka tahun 683 Masehi.
- Prasasti
yang ditemukan di Talang Tuwo (dekat Palembang) berangka tahun 686
Masehi.
- Prasasti
yang ditemukan di Kota Kapur (Bangka Barat) berangka tahun 686 Masehi.
- Prasasti
yang ditemukan di Karang Brahi (antara Jambi dan Sungai Musi) berangka
tahun 686 Masehi.
- Prasasti
dengan nama Inskripsi Gandasuli yang ditemukan di daerah Kedu dan
berasal dari tahun 832 Masehi.
- Pada tahun
1356 ditemukan lagi sebuah prasasti yang bahasanya berbentuk prosa
diselingi puisi (?).
- Pada tahun
1380 di Minye Tujoh, Aceh, ditemukan batu nisan yang berisi suatu model
syair tertua .
- Perkembangan
Bahasa Indonesia di Masa Kolonial
- Pada
abad XVI, ketika orang-orang Eropa datang ke Nusantara mereka sudah
mendapati bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan dan bahasa perantara
dalam kegiatan perdagangan. Bukti lain yang dapat dipaparkan adalah
naskah/daftar kata yang disusun oleh Pigafetta pada tahun 1522. Di
samping itu, pengakuan orang Belanda, Danckaerts, pada tahun 1631 yang
mendirikan sekolah di Nusantara terbentur dengan bahasa pengantar. Oleh
karena itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan surat keputusan:
K.B. 1871 No. 104 yang menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah
bumiputera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.
- Perkembangan
Bahasa Indonesia di Masa Pergerakan
- Setelah
Sumpah Pemuda, perkembangan Bahasa Indonesia tidak berjalan dengan mulus.
Belanda sebagai penjajah melihat pengakuan pada bahasa Indonesia itu
sebagai kerikil tajam. Oleh karena itu, dimunculkanlah seorang ahli
pendidik Belanda bernama Dr. G.J. Niewenhuis dengan politik bahasa
kolonialnya. Isi politik bahasa kolonial Niewenhuis itu lebih kurang
sebagai berikut.
- Pengaruh
politik bahasa yang dicetuskan Niewenhuis itu tentu saja menghambat
perkembangan bahasa Indonesia. Banyak pemuda pelajar berlomba-lomba
mempelajari bahasa Belanda, bahkan ada yang meminta pengesahan agar diakui
sebagai orang Belanda (seperti yang dilukiskan Abdul Muis dalam roman
Salah Asuhan pada tokoh Hanafi). Sebaliknya, pada masa pendudukan Dai
Nippon, bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Tentara
pendudukan Jepang sangat membenci semua yang berbau Belanda; sementara itu
orang-orang bumiputera belum bisa berbahasa Jepang. Oleh karena itu,
digunakanlah bahasa Indonesia untuk memperlancar tugas-tugas administrasi
dan membantu tentara Dai Nippon melawan tentara Belanda dan
sekutu-sekutunya.
- Kedudukan
Bahasa Indonesia
- Bahasa
Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting, yaitu (1) sebagai
bahasa nasional , dan (2) sebagai bahasa resmi/negara .
- Kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional diperoleh sejak awal
kelahirannya, yaitu tanggal 28 Oktober 1928 dalam Sumpah Pemuda. Bahasa
Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional sekaligus merupakan
bahasa persatuan.
8.
- Adapun
dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional , bahasa Indonesia mempunyai
fungsi sebagai berikut.
- Lambang
jati diri (identitas).
- Lambang
kebanggaan bangsa.
- Alat
pemersatu berbagai masyarakat yang mempunyai latar belakang etnis dan
sosial-budaya, serta bahasa daerah yang berbeda.
- Alat penghubung
antarbudaya dan antardaerah.
9.
- Kedudukan bahasa
Indonesia yang kedua adalah sebagai bahasa resmi/negara; kedudukan ini
mempunyai dasar yuridis konstitusional, yakni Bab XV pasal 36 UUD 1945. Dalam
kedudukannya sebagai bahasa resmi/negara, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai berikut.
- Bahasa
resmi negara .
- Bahasa
pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan.
- Bahasa
resmi dalam perhubungan tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan.
- Bahasa
resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu dan teknologi.
- Perkembangan
Bahasa Indonesia
-
- Pada
tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Commissie voor de
Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) melalui Surat Ketetapan
Gubernemen tanggal 14 September 1908 yang bertugas:
- mengumpulkan
dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar
di kalangan rakyat, serta menerbitkannya dalam bahasa Melayu setelah
diubah dan disempurnakan;
- menerjemahkan
atau menyadur hasil sastra Eropa;
- menerima
karangan pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengan keadaan
hidup di sekitarnya.
- Tahun 1933 terbit majalah
Pujangga Baru yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, dan
Armijn Pane. Pengasuh majalah ini adalah sastrawan yang banyak memberi
sumbangan terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Pada masa
Pujangga Baru ini bahasa yang digunakan untuk menulis karya sastra adalah
bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh masyarakat dan tidak lagi dengan
batasan-batasan yang pernah dilakukan oleh Balai Pustaka.
- Tahun 1938, dalam rangka
memperingati sepuluh tahun Sumpah Pemuda, diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo, Jawa Tengah. Kongres ini dihadiri oleh bahasawan dan
budayawan terkemuka pada saat itu, seperti Prof. Dr. Hoesein
Djajadiningrat, Prof. Dr. Poerbatjaraka, dan Ki Hajar Dewantara. Dalam
kongres tersebut dihasilkan beberapa keputusan yang sangat besar artinya
bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Keputusan
tersebut, antara lain:
- mengganti
Ejaan van Ophuysen,
- mendirikan
Institut Bahasa Indonesia, dan
- menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam Badan Perwakilan .
- Tahun 1942-1945 (masa
pendudukan Jepang), Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda yang
dianggapnya sebagai bahasa musuh. Penguasa Jepang terpaksa menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi untuk kepentingan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di lembaga
pendidikan, sebab bahasa Jepang belum banyak dimengerti oleh bangsa
Indonesia. Hal
yang demikian menyebabkan bahasa Indonesia mempunyai peran yang semakin
penting.
- 18
Agustus 1945 bahasa Indonesia dinyatakan secara resmi sebagai bahasa
negara sesuai dengan bunyi UUD 1945, Bab XV pasal 36: Bahasa negara
adalah bahasa Indonesia.
http://www.slideshare.net/w2snu/sejarah-bahasa-indonesia
Bahasa Indonesia, dari
melayu ke persatuan nusantara
Kita semua tahu, bahasa Indonesia satu rumpun
dengan bahasa Melayu. Mengapa akhirnya bahasa Indonesia sangat berbeda dengan
bahasa Melayu itu disebabkan perkembangannya yang begitu dinamis dan
signifikan. Perkembangan bahasa Melayu ke bahasa Indonesia awalnya mirip dengan
perkembangan bahasa Inggris di Amerika dan Australia. Gramatika atau jalan
bahasanya sama, tetapi ada pengucapan yang berbeda dan sejumlah kata yang maknanya
tidak sama. Dapat dikatakan, bahasa Indonesia merupakan bahasa Melayu yang
telah menyerap berbagai bahasa, antara lain Sansekerta, Arab, China, Portugis,
Belanda, Inggris, serta beragam bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa.
Dahulu, bahasa Melayu dipakai masyarakat dari
Semenanjung Malaka hingga Maluku sebagai bahasa pergaulan. Sungguh menakjubkan
ketika bangsa Eropa pertama kali datang ke Nusantara, bahasa Melayu sudah
mempunyai kedudukan yang tinggi di tengah bahasa-bahasa daerah, bahkan di Timur
Nusantara. Pigafetta yang ikut dalam pelayaran Magelhaen membuktikan hal
tersebut saat kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521. Ia mencatat daftar beberapa kata Melayu yang
digunakan masyarakat di sana. Sebagai lingua franca, bahasa Melayu
eksis dan tumbuh sedemikian rupa di antara berbagai ragam bahasa daerah.
Sriwijaya
yang berjaya dari abad ke-7 hingga 11 adalah kerajaan Nusantara pertama yang
resmi memakai bahasa Melayu (saat ini disebut sebagai bahasa Melayu Kuno)
sebagai bahasa kerajaan—terlihat dari prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo
berangka tahun 680 Masehi. Selepas kerajaan Sriwijaya, kerajaan Malaka pada
abad ke-14 hingga 16 juga tercatat memakai bahasa Melayu. Bedanya, pada
Sriwijaya bahasa Melayu dipengaruhi ajaran Hindu yang menyumbang kosakata
bahasa Sansekerta, sedangkan pada Malaka bahasa Melayu dipengaruhi ajaran Islam
yang menyerap kosakata bahasa Arab. Itulah sebabnya, pada Sriwijaya, tulisannya
masih menggunakan huruf Pallawa. Sebaliknya, pada Malaka tulisannya menggunakan
huruf Arab-Melayu. Disebut Arab-Melayu karena bunyi bahasa (fonem) Melayu telah
disesuaikan dengan bunyi bahasa Arab, bahkan beberapa bunyi yang tak ada
lambangnya ditambahkan dalam huruf Arab tersebut. Setelah itu, bahasa Melayu
terus berkembang hingga kerajaan Aceh dan Johor-Pahang.
Kedatangan
Inggris kemudian mempengaruhi kedudukan bahasa Melayu. Gubernur Jenderal
Inggris, Raffles mendirikan Singapura tahun 1819—hal ini memicu persaingan
antara Inggris dan Belanda di Semenanjung Malaka. Akibatnya, melalui Perjanjian
London 5 tahun berikutnya kerajaan Johor-Riau-Pahang dan Lingga dibelah dua,
Johor-Pahang jatuh ke tangan Inggris, sedangkan Riau-Lingga jatuh ke bawah
kekuasaan Belanda. Inilah awal perbedaan bahasa Melayu di bagian utara (Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam) dan di bagian selatan (Indonesia).
Penguasaan
Belanda atas Nusantara dihadapkan pada tiga kemungkinan pemakaian bahasa, yakni
bahasa daerah, Melayu, atau Belanda. Karena pemakaian bahasa Belanda masih
sulit—hanya kaum terpelajar saja yang bisa—maka bahasa Melayu menjadi pilihan
terbaik. Namun, pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi juga tidak mudah,
setidaknya ada tiga macam bahasa Melayu yang digunakan pada saat itu. Pertama,
bahasa Melayu pasar yang telah bercampur dengan berbagai bahasa dan dialek,
khususnya bahasa China. Kedua, bahasa Melayu dialek yang terpengaruh bahasa
daerah setempat, dan ketiga bahasa Melayu Riau. Yang terakhir inilah yang
dijadikan standar bagi pendidikan dan pengajaran bahasa Melayu di Nusantara,
serta cikal bakal pembentukan bahasa Indonesia pada nantinya.
Tindakan
Belanda yang meresmikan bahasa Melayu (saat itu dikenal sebagai Melayu Tinggi)
sebagai bahasa resmi kolonialisme Hindia-Belanda ternyata berdampak sangat
positif. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar sekolah-sekolah bumi
putera dan dibina melalui penerbitan buku Balai Pustaka tahun 1920-an. Itu pula
yang memicu kesadaran rakyat terutama kaum terpelajar untuk berbangsa, bertanah
air, dan berbahasa satu sehingga muncullah Sumpah Pemuda 1928.
Pertanyaannya,
mengapa frase ”satu bahasa” yang disebut dalam Sumpah Pemuda adalah bahasa
Indonesia, bukan Melayu? Ternyata ada makna politis di balik sumpah tersebut.
Meskipun bahasa Melayu dirasa sebagai milik bersama dan telah menjadi lingua
franca rakyat Nusantara selama berabad-abad, kata ”Melayu” dianggap
menyimbolkan kesukuan. Bangsa ini perlu suatu ”bahasa baru” yang akan
mempersatukan daerah-daerah di Nusantara karena melalui bahasa, akan tercipta
suatu identitas atau jati diri bangsa. Bangsa Indonesia sesungguhnya merupakan
kumpulan bangsa yang mendambakan kemerdekaan, kebebasan dari kolonialisme
Belanda. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa homogen, tetapi terdiri dari beragam
suku bangsa yang mempunyai persamaan nasib untuk lepas dari penjajahan. Itu
sebabnya, dalam Pancasila kita menyatakan ”persatuan Indonesia” bukan
”penyatuan Indonesia” karena suku-suku bangsa Nusantara memutuskan untuk
”bersatu” dan bukan ”menyatu”. Di dalam kata ”bersatu” ada makna identitas yang
tidak hilang, melainkan mengesampingkan perbedaan untuk satu tujuan. Berbeda
dengan kata ”menyatu” yang berarti melebur menjadi satu dengan menghilangkan
identitas untuk mencapai identitas yang baru. Suku Melayu, Batak, Dayak, Jawa,
Bali, Bugis, Ambon, dan Papua tetap ada, tetapi bergandengan tangan membentuk
suatu bangsa dan negara bernama Indonesia. Konsep persatuan ini juga jelas
terlihat dari moto negara kita, Bhinneka Tunggal Ika.
Sejak
awal, para Bapak Bangsa ternyata telah mengetahui satu cara yang luar biasa
untuk mempersatukan bangsa, yakni dengan pengakuan terhadap bahasa. Kesamaan
bahasa dapat menjadi dasar persatuan karena hanya dengan bahasa yang sama
itulah kita dapat mengungkapkan perasaan dan menyampaikan pemikiran kita.
Singkatnya, selain karena faktor perjuangan para pahlawan, bangsa Indonesia
dipersatukan oleh bahasa Indonesia.
Kata
“Indonesia” mula-mula disebut oleh seorang Jerman, bernama A. Bastian (1884)—nesia
dari bahasa Yunani nesos yang berarti pulau, sedangkan indo
sama artinya dengan Indo-German, yakni bangsa yang pernah mengecap
peradaban Hindu.
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik
Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai
berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah
satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang
dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19. Dalam perkembangannya
ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan
administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20.
Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama
bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa
Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus
menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami
dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya.
Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada
di Indonesia sebagai bahasa ibu Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi
sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya
atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas
di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat
resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa
Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Sejarah
Masa lalu sebagai bahasa Melayu
Bahasa Indonesia
adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa
Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Kerajaan
Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu
(sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di
Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang
bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa
Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa
ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad
berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin,
dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15
berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical
Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua
pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan
memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri
paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata
pinjaman dari bahasa
Arab
dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama
Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid,
kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur,
cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses
penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti
oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah
kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya
kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja,
sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak
memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara
dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah
pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai
pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat
kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah
dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan
perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko,
tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap
sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur". Luasnya
penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal.
Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara
bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota
pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian
bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang
terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar
pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini
secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting
terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat
dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi
dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan
dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad
ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang
dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku
serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar.
Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata
pinjaman
Bahasa Indonesia
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat
dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena
penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah
"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari
bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad
ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di
tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi
ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan
Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van
Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi
pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur
("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini
menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di
berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan
program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700
perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada
Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada
di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan
menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa
itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau
bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan
bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan
Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan
tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.